Kisah Seorang Ibu dari Perang falujjah 2 ( Kisah Nyata )

0 komentar


Falujjah melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat membuat seseorang gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan tangisan “Allahu Akbar”, doa dari masjid, serangan dari mujahidin dan tembakan dari penjajah. Setiap hari aku duduk di ambang pintu rumah, jam demi jam melihat kearah jalan berharap kedatangan putera-puteraku. Aku akan bertanya kepada siapapun yang datang di jalan dan berlari kearah mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda melihat Ahmad, apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku Umar?”

Ummu Asy-Syuhada kembali menangis.


“Beberapa dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal anak-anakku dan yang lain mengatakanbahwa mereka tidak melihat. Hanya ada satu orang yang mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka berada di daerah Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan mereka dalam keadaan baik.”

Dia segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga tersandung dan terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon padanya untuk menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya ia berhenti dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak ada yang salah dengan mereka alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat. Aku memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat mereka lagi aku akan menyampaikan salam anda”.
Ia memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu Oh Ibu”, kemudian ia pergi.

Kondisi seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12 Desember.Bagaimanapun aku telah memutuskan setelah ini bahwa aku akan menguatkan hatiku, percaya pada Allah dan melakukan sesuatu untuk Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak makanan dan membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga membuat perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan mengambil kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di peperangan. Dan alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke pertempuran. Jumlah mereka lebih dari dua puluh orang.

Sebelum datang tanggal 12Desember, yakni pada tanggal 9Desember- saya yakin, sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan dari anak-anakku- hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat di sekitar Falujjah, khususnyadipusat kota. Banyak orang syahid sampai senjata kimia itu pun membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini menambah kesibukan di pusat kota, dalam beberapa jam puluhan mujahidin mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar diantara Mujahidin dari sumber yang mana sampai sekarang masih belum diketahui. Tapi aku meyakini bahwa hal itu berasal dari seorang agenintel penjajah.

Isu itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid dalam serangan senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok menyebar di Falujjah, hanya Allah yang maha mengetahui. Aku mendengar hal ini dari seorang yang sedangku rawat.

Namun Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika mereka tiba-tiba muncul ditengah-tengahmujahidin di hari itu. Peristiwa ini meningkatkan semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar atas pekerjaan penjajah, hanya Allah yang Maha Tahu.
Pertempuran dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya melawan aliansi penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada diantara mujahidin. Aku memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya suatu hari nanti dengan melihat tiga putra saya.

Kemudian, saat pukul 11 malam tangga 12 Desember 2004 hari ahad, disana terjadi pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang mencoba untuk merebut daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat dekat dengan rumahku dan aku dapat melihat langit menyala memenuhi api, sebuah pemandangan yang tidak akan aku lupakan di sisa hidupku.

Betapa banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku mendengar rintihan mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu berlangsung kira-kira selama 4 jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3dini hari, atau kurang sedikit. Selama ini serangan Amerika atas daerah ini gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku mendengar raungan datang dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat Allah dan ia tidak berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad rasoolulullah.

Aku bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku menyeretnya dengan segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada dan wajahnya. Aku bergegas membawakan air dan membersihkan wajahnya dan membalut luka-lukanya sampai pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku pikir ia menangis karena rasa sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia akan menangis, sehingga aku katakan padanya:

“Percayalah pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat disembuhkan. Menyadari bahwa anda baik-baik saja adalah hal yang penting.Subuh semakin dekat, kelompok anda akan segera datang kemari, mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun biarkan aku pergi dan melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”

Kali ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin ditinggalkan seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa kematiannya sudah dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku mengatakan bahwa teman-teman yang lain mungkin membutuhkan bantuan, aku akan pergi dan kembali secepat mungkin.

Aku pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya di pinggang-. Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka terlebih dahulu. Benar aku kemudian menemukan seorang korban berikutnya, orang arab. Aku menyeretnya kedalam rumah dan memulai untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran ketika ia menyebutku dengan sebutan “Oh Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia mengenal ku padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.

Aku menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka dari bawah pusarnya, semoga Allah merahmatinya dan ususnya keluar menjulur. Dia mengatakan kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya beberapa lumpur dari kebun, garam dan perban. Aku memberinya apa yang ia inginkan dan kemudian aku kembali keluar kejalan.

Disana aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku menyeret yang pertama dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di kebun. Lalu aku mengambil sekop berniat untuk menggali kuburan untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan rentang kedalaman seadanya sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku hanya ingin ia terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang untuk memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan syariah.

Setelah aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku terlalu tua untuk menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan meter. Namun aku bertawakal kepada Allah dan mengatakan pada diriku sendiri. Semoga Allah akan melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai imbalan atas apa yang telah saya lakukan.

Aku keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang berbadan besar dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari kakinya. Setelah beberapa menit sampailah akudi kebun rumahku. Disini aku mulai curigajika aku mengenali syuhada ini – dan kemejanya robek dibagian belakang – juga baunya sangat aku kenali. Saat itu malam hari dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat telapak tanganku. Aku berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera, walaupun sesuatu yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini karena pesawat penjajah dapat membom setiap menit.

Ketika aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid yang berlumuran darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti tersambar petir. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang aku seret kali ini tidak lain adalah Muheeb anakku yang kedua!”

Ummu Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Iaberucap: “Wallahi Oh Muheeb kau mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu meniggalkanku dan pergi begitu saja”. Kemudian ia tersadar; “inna lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah merencanakan untuk tidak menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya saya menangisi mereka hari ini”.

Kemudian wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku mengangkat kepalanya dan dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara dengannya selama sekitar setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku mengingatnya atas tutur katanya yang baik denganku, kenangan ketika ia masih kecil dan ia tertidur di pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya yang indah sebagai mana yang selalu kulakukan. Aku mengatakan padanya: “Oh Muheeb, aku adalah ibumu….tidurlah oh cahaya mataku, tidur dan beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!”

Wallahi!Aku tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku menguburkannya dibawah pohon zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar ketika ia masih kecil. Aku membuat lubang yang dalam, aku memutuskan bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.

Di pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam Muheeb. Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak menculiknya. Aku menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku menyadari kedatangan mereka setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku pergi menemui mereka dan mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman Ahmad dan Umar.

Aku bertanya kepada mereka:”Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad dan Umar?”
Mereka membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi, ingatlah mereka dengan Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah Nizaal dan kami menguburkan mereka di halaman rumah Hajji Khaleel Al-Fiyaad”

Aku tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu sampai. Mungkin karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau karena saat itu aku tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka wafat dalam keadaanmaju atau mundurdimedan peperangan?”
Salah satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan mereka menerima pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.

Aku memuji pada Allah dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk memasuki rumah agar mengambil dua orang yang terlukan dengan mereka. Ketika mereka memasukinya mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang arab sudah tidak bernyawa. Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka membawanya. Mereka menguburkan yang wafat di kebun rumahku.
Mereka terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu jam. Aku mengatakan bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku Muheeb dan yang lain, adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan ia tidak di kuburkan dengan selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu dari mereka untuk menguburkannya kembali dan membuatkan kuburan yang lebih layak.

Setelah selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka mencoba keluar meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari mereka, tampaknya bukan orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah kehilangan tiga putera dan kami semua adalah anak-anakmu. Insha Allah Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”

Kemudian mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah untuk sholat Dhuha. Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam berikutnya. Selama waktu itu aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan menguburkan mereka di kebun rumahku. Hingga kini kebun rumah itu terdapat tujuh kuburan parasyuhada. Seluruh kebun dan rumah dipenuhi dengan aroma misk yang belum pernah aku cium sebelumnya. Aroma ini membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.

Aku tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku mendapatkan aroma itu di kuburnya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang menimanganaknya ketika ia sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah dengan para syuhada selam tujuh hari hingga tanggal 13 Januari 2005, ketika bulan sabit merah masuk dari arah utara atas izin dari penjajah.

Mereka memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian di As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para pekerja sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan teman-temannya dan mengambil mereka untuk dikuburkan kembali dengan saudara-saudaranya di pekuburan khusus para syuhada.

Ini adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit dan pedih. Pula, aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan mati demi Allah meskipun betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai ibumu adalah kebanggaan karena ia adalah ibu dari para syuhada.

Umm Asy-Syuhadamengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syairbadui yang mampu kami tulis. Dia berkata: “Syair untuk para ulama yang selalu memakai surban di kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua syair ini. Aku bertanya kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada hari Anda berdiri di antara penuntut balas dan Maha Kuat?

Bunyi syair beliau seperti ini:

Kami berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat penderitaan ini
Kami berharap dengan anda (……………….)

Oh ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul
Demi Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai air mata. Oh ibu para syuhada. Semoga Allah menerima anak-anakmu sebagai syuhada dan mengumpulkan kamu dengan mereka di surga tertinggi, Al-Firdaus. Amin.

Garis rapuh tergores dikeningnya
Hanya waktu berpihak
Jemari mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa daya hanya sisa raja dinanti
Garis rapuh terlukis di dahinya
Sang tua berjalan tanpa tandu
Tiada naung peristirahatannya
Berlaku sehari setetes semadu
Garis tua itu Nampak hanyut
Kusut bertabur peluh
Setengah perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh setengah hati
Garis tua itu berontak
Garis tua itu saksi tirani
Garis tua itu berteriak
Mencari upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah kini harapan
Penjajah asa bermuram kelam
Secercah suria kemenangan
Menutup lembaran Fallujah dalam temaram

::: TAMAT :::


Sumber : MADAH




Posting Komentar

Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran























youtube downloader