Falujjah
melalui banyak malam dengan pertempuran sengit yang dapat membuat seseorang
gila. Aku tidak mendengarkan apa-apa melainkan tangisan “Allahu Akbar”, doa
dari masjid, serangan dari mujahidin dan tembakan dari penjajah. Setiap hari
aku duduk di ambang pintu rumah, jam demi jam melihat kearah jalan berharap
kedatangan putera-puteraku. Aku akan bertanya kepada siapapun yang datang di
jalan dan berlari kearah mereka: “Hei, Oh salah satu dari kalian, apakah anda
melihat Ahmad, apakah anda melihat Muheeb, dan apakah anda melihat anakku
Umar?”
Ummu
Asy-Syuhada kembali menangis.
“Beberapa
dari mereka mengatakan padaku bahwa mereka tidak mengenal anak-anakku dan yang
lain mengatakanbahwa mereka tidak melihat. Hanya ada satu orang yang
mengabarkan padaku “Ya ummi, Ahmad dan Umar mereka berada di daerah
Al-Jumhooriya dan Muheeb berada di daerah An-Nizaal dan mereka dalam keadaan
baik.”
Dia
segera bergegas berlalu, aku berlari mengikutinya hingga tersandung dan
terjatuh. Hidungku terantuk hingga berdarah. Aku memohon padanya untuk
menghentikan langkah agar berbicara lebih banyak padaku. Akhirnya ia berhenti
dan berkata: “Ibuku, aku telah mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tidak
ada yang salah dengan mereka alhamdulillah, tetapi jangan membuatku terlambat.
Aku memiliki pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan. Jika aku melihat
mereka lagi aku akan menyampaikan salam anda”.
Ia
memberiku ghutrah dan menghiburku: “Hapuslah darahmu Oh Ibu”, kemudian ia
pergi.
Kondisi
seperti ini terus berlanjut hingga tanggal 12 Desember.Bagaimanapun aku telah
memutuskan setelah ini bahwa aku akan menguatkan hatiku, percaya pada Allah dan
melakukan sesuatu untuk Mujahidin. Aku mulai menyibukkan diri untuk memasak
makanan dan membagi-bagikan minuman diantara para mujahidin Arab. Aku juga
membuat perban dari tirai rumah, potongan bahan dari sekitar rumah dan
mengambil kapas bantal. Kemudian aku merawat mujahidin yang terluka di peperangan.
Dan alhamdulillah semua yang telah aku rawat kembali ke pertempuran. Jumlah
mereka lebih dari dua puluh orang.
Sebelum
datang tanggal 12Desember, yakni pada tanggal 9Desember- saya yakin,
sebagaimana aku menghitung hari-hari semenjak aku dipisahkan dari anak-anakku-
hari ini yahudi menyebar bahan kimia yang sangat kuat di sekitar Falujjah,
khususnyadipusat kota. Banyak orang syahid sampai senjata kimia itu pun
membakar pepohonan dan hewan-hewan. Hal ini menambah kesibukan di pusat kota,
dalam beberapa jam puluhan mujahidin mati syahid. Kemudian sebuah isu menyebar
diantara Mujahidin dari sumber yang mana sampai sekarang masih belum diketahui.
Tapi aku meyakini bahwa hal itu berasal dari seorang agenintel penjajah.
Isu
itu mengabarkan bahwa Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi syahid dalam serangan
senjata kimia. Kepanikan diantara kelompok-kelompok menyebar di Falujjah, hanya
Allah yang maha mengetahui. Aku mendengar hal ini dari seorang yang sedangku
rawat.
Namun
Umar Hadid dan Abdullah Al-Janaabi menampik rumor itu ketika mereka tiba-tiba
muncul ditengah-tengahmujahidin di hari itu. Peristiwa ini meningkatkan
semangat mujahidin dan memberikan kerugian yang besar atas pekerjaan penjajah,
hanya Allah yang Maha Tahu.
Pertempuran
dahsyat terus berlangsung antara mujahidin dan rakyatnya melawan aliansi
penjajah.Aku mendengar berita ada puluhan syuhada diantara mujahidin. Aku
memohon pada Allah untuk menyenangkan mata saya suatu hari nanti dengan melihat
tiga putra saya.
Kemudian,
saat pukul 11 malam tangga 12 Desember 2004 hari ahad, disana terjadi
pertempuran sengit antara mujahidin dan Amerika yang mencoba untuk merebut
daerah Al-Shuhda’a. Pertempuran terjadi sangat dekat dengan rumahku dan aku
dapat melihat langit menyala memenuhi api, sebuah pemandangan yang tidak akan
aku lupakan di sisa hidupku.
Betapa
banyak syuhada yang gugur selama pertempuran ini dan aku mendengar rintihan
mereka dekat dengan rumahku. Situasi seperti itu berlangsung kira-kira selama 4
jam, semenjak pukul 11 sampai pukul 3dini hari, atau kurang sedikit. Selama ini
serangan Amerika atas daerah ini gagal. Aku keluar menuju pintu rumah dan aku
mendengar raungan datang dari seorang mujahidin yang terluka. ia mengingat
Allah dan ia tidak berhenti menyebut laa illaha illaa allah muhammad rasoolulullah.
Aku
bergegas mendekatinya, ternyata dia masih hidup sehingga aku menyeretnya dengan
segala kekuatan kedalam rumah. Dia terluka di dada dan wajahnya. Aku bergegas
membawakan air dan membersihkan wajahnya dan membalut luka-lukanya sampai
pendarahan berhenti. Ia menangis dan aku pikir ia menangis karena rasa
sakitnya. Setiap kali ia menatapku dia akan menangis, sehingga aku katakan
padanya:
“Percayalah
pada Allah, lukamu tidak parah Insha Allah, dapat disembuhkan. Menyadari bahwa
anda baik-baik saja adalah hal yang penting.Subuh semakin dekat, kelompok anda
akan segera datang kemari, mereka akan membawa mu dan merawatmu. Bagaimanapun
biarkan aku pergi dan melihat jika kelompokmu masih ada yang hidup atau tidak.”
Kali
ini ia mulai menangis lebih keras, seolah-olah ia tidak ingin ditinggalkan
seorang diri, sehingga aku berfikir mungkin ia merasa bahwa kematiannya sudah
dekat dan ia tidak ingin mati sendirian. Aku mengatakan bahwa teman-teman yang
lain mungkin membutuhkan bantuan, aku akan pergi dan kembali secepat mungkin.
Aku
pergi kejalan raya- setelah menyentakkan abayaku dan mengikatnya di pinggang-.
Aku memutuskan bahwa aku akan menolong yang terluka terlebih dahulu. Benar aku
kemudian menemukan seorang korban berikutnya, orang arab. Aku menyeretnya kedalam
rumah dan memulai untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengannya. Aku heran
ketika ia menyebutku dengan sebutan “Oh Amah, Ummu Muheeb”. Seolah-olah ia
mengenal ku padahal biasanya orang-orang memanggil ku dengan Ummu Ahmad.
Aku
menduga ia teman putraku dan mengetahui rumah kami. Dia terluka dari bawah
pusarnya, semoga Allah merahmatinya dan ususnya keluar menjulur. Dia mengatakan
kepadaku bahwa semua yang ia inginkan hanya beberapa lumpur dari kebun, garam
dan perban. Aku memberinya apa yang ia inginkan dan kemudian aku kembali keluar
kejalan.
Disana
aku menemukan dua mayat, terpisah dua rumah dariku. Aku menyeret yang pertama
dengan sekuat tenaga ke rumah dan meletakkannya di kebun. Lalu aku mengambil
sekop berniat untuk menggali kuburan untuknya. Dan sungguh aku menggali dengan
rentang kedalaman seadanya sepanjang dua meter kemudian aku menimbunnya. Aku
hanya ingin ia terkubur secara darurat sampai keluarganya atau temannya datang
untuk memindahkan tubuhnya agar dapat menguburkannya lebih tepat sesuai dengan
syariah.
Setelah
aku menguburkan yang pertama aku sangat kelelahan karena aku terlalu tua untuk
menyeret orang yang terluka dan satu jenazah puluhan meter. Namun aku
bertawakal kepada Allah dan mengatakan pada diriku sendiri. Semoga Allah akan
melindungi anak-anakku dari kematian, sebagai imbalan atas apa yang telah saya
lakukan.
Aku
keluar menuju jalan lagi dan menemukan satu lagi syuhada yang berbadan besar
dan tinggi. Aku mulai perlahan-lahan menariknya dari kakinya. Setelah beberapa
menit sampailah akudi kebun rumahku. Disini aku mulai curigajika aku mengenali
syuhada ini – dan kemejanya robek dibagian belakang – juga baunya sangat aku
kenali. Saat itu malam hari dan sangat gelap, bahkan aku tidak dapat melihat
telapak tanganku. Aku berlari menuju rumah dan menyalakan sebuah lentera,
walaupun sesuatu yang membahayakan untuk memancarkan cahaya dari rumah. Hal ini
karena pesawat penjajah dapat membom setiap menit.
Ketika
aku mendekatkan lentera semakin dekat ke wajah sang syahid yang berlumuran
darah dan pasir, aku membeku di tempatku seperti tersambar petir. Aku tak mampu
mengucapkan sepatah katapun. Syuhada yang aku seret kali ini tidak lain adalah
Muheeb anakku yang kedua!”
Ummu
Asy-Syuhada diam dan tangisnya meledak. Iaberucap: “Wallahi Oh Muheeb kau
mematahkan kekuatanku, kau dan saudara-saudaramu meniggalkanku dan pergi begitu
saja”. Kemudian ia tersadar; “inna lillahi wa innaa ilayhi raaji’oon” aku telah
merencanakan untuk tidak menangis atas mereka dan kali ini adalah ketiga kalinya
saya menangisi mereka hari ini”.
Kemudian
wanita yang terhentak itu melanjutkan kisahnya: “Aku mengangkat kepalanya dan
dan memeluknya, aku menangisinya dan berbicara dengannya selama sekitar
setengah jam seakan-akan ia masih hidup. Aku mengingatnya atas tutur katanya
yang baik denganku, kenangan ketika ia masih kecil dan ia tertidur di
pangkuanku. Aku membelai lembut rambutnya yang indah sebagai mana yang selalu
kulakukan. Aku mengatakan padanya: “Oh Muheeb, aku adalah ibumu….tidurlah oh
cahaya mataku, tidur dan beristirahatlah dari dunia ini. Engkau telah menang!”
Wallahi!Aku
tidak ingin melepaskannya dari pangkuanku. Aku menguburkannya dibawah pohon
zaitun yang ia cintai dan tempatnya belajar ketika ia masih kecil. Aku membuat
lubang yang dalam, aku memutuskan bahwa rumahnya akan menjadi makamnya.
Di
pagi hari sekelompok Mujahidin tiba dan aku masih berada di makam Muheeb.
Menjaga anakku yang syahid seakan-akan ada orang yang hendak menculiknya. Aku
menangisinya dari malam sampai pagi hingga aku menyadari kedatangan mereka
setelah mendengar suara mereka di jalan. Aku pergi menemui mereka dan
mengenalku. Aku mengetahui bahwa mereka adalah teman-teman Ahmad dan Umar.
Aku
bertanya kepada mereka:”Katakan padaku, dimana anak-anakku Ahmad dan Umar?”
Mereka
membungkukkan kepala kebawah dan mengatakan: “Oh bibi, ingatlah mereka dengan
Allah. Tadi malam Ahmad dan Umar wafat di daerah Nizaal dan kami menguburkan
mereka di halaman rumah Hajji Khaleel Al-Fiyaad”
Aku
tidak tahu mengapa aku tidak menangis pada saat berita itu sampai. Mungkin
karena aku telah sangat letih menangisi Muheeb atau karena saat itu aku
tersentak. Aku bertanya pada mereka: “Apakah mereka wafat dalam keadaanmaju
atau mundurdimedan peperangan?”
Salah
satu dari mereka menjawab:”Wallahi, mereka wafat saat maju dan mereka menerima
pembalasan dendam atas mereka sebelum mereka wafat”.
Aku
memuji pada Allah dan kemudian aku mengatakan kepada mereka untuk memasuki
rumah agar mengambil dua orang yang terlukan dengan mereka. Ketika mereka
memasukinya mereka menemukan satu dari mereka, yaitu yang arab sudah tidak
bernyawa. Sedangkan yang lainnya masih hidup dan mereka membawanya. Mereka
menguburkan yang wafat di kebun rumahku.
Mereka
terkesan bahwa aku mampu menggali dua buah kuburan dalam satu jam. Aku mengatakan
bahwa kuburan dibawah pohon zaitun itu milik anakku Muheeb dan yang lain,
adalah seorang syuhada yang tidak aku kenali dan ia tidak di kuburkan dengan
selayaknya. Sehingga aku meminta salah satu dari mereka untuk menguburkannya
kembali dan membuatkan kuburan yang lebih layak.
Setelah
selesai, mereka memohon kepadaku untuk ikut dengan mereka mencoba keluar
meninggalkan Fallujah. Aku menolak. Salah satu dari mereka, tampaknya bukan
orang Iraq berkata: “Oh Ibu engkau telah kehilangan tiga putera dan kami semua
adalah anak-anakmu. Insha Allah Ahmad, Umar dan Muheeb berada di dalam Jannah”
Kemudian
mereka pergi tergesa-gesa dan aku kembali kedalam rumah untuk sholat Dhuha.
Tiga pertempuran kembali pecah dalam tiga malam berikutnya. Selama waktu itu
aku mampu menarik empat syuhada lainnya dan menguburkan mereka di kebun
rumahku. Hingga kini kebun rumah itu terdapat tujuh kuburan parasyuhada.
Seluruh kebun dan rumah dipenuhi dengan aroma misk yang belum pernah aku cium
sebelumnya. Aroma ini membuat aku merasa senang dan memberikanku kesabaran.
Aku
tidur selama empat malam disamping makam Muheeb dan aku mendapatkan aroma itu
di kuburnya. Aku tidur dengannya seperti ibu yang menimanganaknya ketika ia
sedang tertidur. Aku tetap tertahan dirumah dengan para syuhada selam tujuh
hari hingga tanggal 13 Januari 2005, ketika bulan sabit merah masuk dari arah
utara atas izin dari penjajah.
Mereka
memaksaku untuk pergi dengan mereka ke sebuah kamp pengungsian di
As-Saqlaawiya. Disana aku mengetahui bahwa setelah peperangan para pekerja
sukarela dari Fallujah menggali kuburan Muheeb dan teman-temannya dan mengambil
mereka untuk dikuburkan kembali dengan saudara-saudaranya di pekuburan khusus
para syuhada.
Ini
adalah kisahku dan aku berusaha menceritakannya meskipun sakit dan pedih. Pula,
aku berharap bahwa aku memiliki tiga putra yang akan mati demi Allah meskipun
betapa berat kesedihanku atas mereka. Sebagai ibumu adalah kebanggaan karena ia
adalah ibu dari para syuhada.
Umm
Asy-Syuhadamengakhiri ceritanya dengan beberapa bait syairbadui yang mampu kami
tulis. Dia berkata: “Syair untuk para ulama yang selalu memakai surban di
kepala mereka. Untuk mereka aku mendedikasikan dua syair ini. Aku bertanya
kepada mereka. Apa yang akan Anda katakan pada hari Anda berdiri di antara
penuntut balas dan Maha Kuat?
Bunyi
syair beliau seperti ini:
Kami
berharap dengan anda dan berpikir anda akan menyelamatkan kami
Kami
tidak berharap, anda berlalu mencampakkan kami setelah melihat penderitaan ini
Kami
berharap dengan anda (……………….)
Oh
ketidakadilan, harapan telah sirna dan pendusta telah muncul
Demi
Allah, Anda telah mematahkan hati kami dan membuat kami berurai air mata. Oh
ibu para syuhada. Semoga Allah menerima anak-anakmu sebagai syuhada dan
mengumpulkan kamu dengan mereka di surga tertinggi, Al-Firdaus. Amin.
Garis
rapuh tergores dikeningnya
Hanya
waktu berpihak
Jemari
mulai kaku menuntut untuk hidup
Apa
daya hanya sisa raja dinanti
Garis
rapuh terlukis di dahinya
Sang
tua berjalan tanpa tandu
Tiada
naung peristirahatannya
Berlaku
sehari setetes semadu
Garis
tua itu Nampak hanyut
Kusut
bertabur peluh
Setengah
perjalanan penguasa pencari buntut
Acuh
setengah hati
Garis
tua itu berontak
Garis
tua itu saksi tirani
Garis
tua itu berteriak
Mencari
upa terselip di ketiak-ketiak sumbi
Dawlah
kini harapan
Penjajah
asa bermuram kelam
Secercah
suria kemenangan
Menutup
lembaran Fallujah dalam temaram
:::
TAMAT :::
Sumber : MADAH
Sumber : MADAH
Posting Komentar
Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran
youtube downloader