BAHAGIA namun sedih dan cemburu. Mungkin itulah kata yang paling tepat
untuk menggambarkan perasaan hatiku kala itu. Perasaan yang bercampur aduk, menyatu
dalam sanubariku. Dan membuatku hanya bisa terpaku menerima suratan takdirku.
Bagaimana tidak? Hanya tinggal dalam hitungan jam saja maka Humairah akan
segera pergi untuk meraih cita-citanya.
Yakni cita-cita menjadi seorang thalabul ‘ilmi dengan kepandaian
berbahasa Arab yang ‘wah’. Siapa yang tidak iri? Melihat seseorang mendapatkan
karunia besar itu. Belajar dima’had kemudian fasih berbicara dalam bahasa Arab
dan belajar dienul Islam, langsung dari ahlinya. Bisa menerjemahkan Al-Quran
sendiri dan bisa membaca kitab-kitab gundul. Mungkin pula sampai kitab kuning.
Tentu, siapapun akan merasa iri.
Yah, namanya Humairah. Ia adalah teman karibku. Dan usianya 5 tahun lebih
muda dariku. Keinginannya untuk belajar di ma’had menurutku adalah sebuah
cita-cita yang langka namun sangat mulia. Kukatakan langka. Karena tak banyak
orang yang bercita-cita sama seperti dirinya. Toh, pada kenyataannya tak banyak
orang yang berminat dengan jurusan tersebut.
Diluar sana, banyak dari mereka ‘para remaja’ yang baru saja
menyelesaikan sekolahnya lebih memilih melanjutkan ke Universitas lain
ketimbang melanjutkan di Universitas yang notabene berbau Islam. Mulia. Karena
ketika remaja seusianya lebih memilih kebebasan diluar sana, dengan beraneka
ragam hiburan ala modern, tapi ia dengan kemauannya sendiri lebih memilih untuk
diatur oleh aturan-aturan ma’had, yang pada hakikatnya tidak semua orang akan
betah.
Dengan suasana ma’had yang terkesan menekan bagi kebanyakan orang-orang
awam. Yah, begitulah. Ia lebih memilih untuk pergi dan mondok selama beberapa
tahun lamanya disana.
Yakni disebuah kampus atau tepatnya disebuah ma’had. Di ma’had yang
kemampuan berbahasa Arab para mahasiswanya terlebih lagi dengan Ustadz dan
Ustadzahnya tak perlu diragukan lagi.
Dan kepergian dan nikmat yang diperolehnya itulah yang membuatku sedih,
bahagia dan cemburu. Aku sedih karena dengan Ia pergi berarti kesempatanku
untuk bersua dengannya tak ada lagi. Yah, kalaupun ada paling tidak hanya satu
atau dua kali dalam sebulan. Atau mungkin pula hanya sekali atau dua kali dalam
setahun. Namun, aku pun cemburu. Karena aku merasa tak seberuntung dirinya.
Yang dengan mudahnya menginjakkan kakinya ke ma’had. Karena ia tak perlu
mencita-citakannya dari semenjak beberapa tahun lamanya. Namun, hanya dalam hitungan
beberapa bulan saja. Dan sangat berbeda denganku. Karena tak kurang dari tiga
tahun lamanya atau bahkan lebih jauh dari itu, aku mencita-citakannya. Namun,
keinginanku itu tak kunjung tercapai. Selalu saja ada kendala dari berbagai
sisi.
Tiga tahun lamanya atau tiga tahun lebih. Yah, deretan tahun yang
kutuliskan itu memang tak salah. Karena keinginan itu telah terpendam dalam
jiwaku dari semenjak beberapa tahun silam. Tepatnya, beberapa bulan sejak aku
masuk kuliah disebuah Universitas yang terdapat di Makassar. Yakni dimana aku
sedang kuliah saat ini. Dan saat itu, aku mulai masuk kuliah sejak tahun 2005.
Dan semenjak itu, aku merasakan ketidakpuasan selama dalam perkuliahan.
Ketidakpuasan yang teramat mengusik jiwa dan konsentrasiku dalam belajar.
Padahal hakikatnya jurusan yang kuambil sebenarnya sudah sangat tepat. Artinya,
jika ditinjau dari segi jurusan seharusnya aku sudah sepantasnya merasa puas
dan ak perlu melirik ke Universitas lain. Karena dengan mengambil jurusan
tersebut sama saja bahwa aku telah meraih cita-citaku. Aku akan mahir dalam
memahami ajaran-ajaran Islam. Karena aku mengambil jurusan PAI atau pendidikan
agama Islam. Namun, pada kenyataannya aku tak puas. Karena ternyata apa yang
kudapatkan tak seperti harapanku. Karena apa yang kupelajari tak seperti
keinginanku. Tak ada hafalan dan lain sebagainya. Sungguh membosankan.
Saat kuliah, aku dan mahasiswa lainnya, tentunya belajar tentang apa yang
mesti kuketahui dari ajaran agamaku. Yakni tentang ajaran-ajaran Islam. Namun,
pelajaran itu kurasa sangat minim. Karena kami hanya diajar namun tidak di
didik. Makanya, satu tahun kuliah aku tambah merasa tak paham apa-apa terkait
dengan ajaran agamaku sendiri. Ditempatku pengajian pun sama.
Sama-sama tak bisa menambah imanku. Dan membuatku semakin tertarik dengan
Islam. Akhirnya, lengkaplah sudah ketidakpuasan yang kurasakan dalam hatiku.
Tapi entahlah, apakah itu karena kebodohanku sendiri, karena tak bisa memahami
setiap penjelasan dosen maupun ustadzah atau memang hakikatnya demikian. Entahlah.
Karena tak puas, aku lalu berniat untuk pindah dan kuliah di Universitas
yang kira-kira menjanjikan dari segi ilmunya. Yang bisa menjadikan diriku lebih
baik. Yang bisa menjadikanku sebagai manusia yang sesungguhnya. Menjadi wanita
beriman dan berakhlak sebagaimana yang dikehendaki Allah dan RasulNya.
Akhirnya, bertanya dan bertanya kepada beberapa teman adalah kesibukanku saat
itu. Dan saat bertanya, yang terlintas dalam benakku adalah aku ingin mahir
berbahasa Arab. Bukan karena hoby semata-mata. Namun, jauh dari itu. Kuingin
itu sebagai langkah awal untuk aku bisa memahami ajaran agamaku. Karena dengan
mengetahui bahasa Arab, aku akan bisa memahami maksud setiap kata dalam
Alquran.
Dan tak lama aku mencari-cari akhirnya ditunjukkanlah untukku sebuah
kampus. Sebuah kampus yang katanya menjanjikan dari segi ‘ilmunya. Dan kampus
itu tak lain adalah kampus dimana Humairah sedang belajar saat ini. Dan saat
baru mengetahui sedikit saja, aku langsung tertarik dan berniat pindah. Namun, belum
juga aku mendaftar disana, kendala sudah menghampiriku dengan bertubi-tubi.
Belum saja kuutarakan maksudku dengan panjang lebar, orang terpenting dalam
perjalanan hidupku sudah gerah mendengar keinginanku. Siapa lagi kalau bukan
Ibuku. Ibu yang seharusnya mensupport keinginanku malah melarangku dengan
keegoisannya sendiri. Aku disangka fanatiklah dan tidak kasihan sama sekali
padanya.
“Untuk bisa masuk kuliah ini saja sangat susah, apalagi harus mengulang.
Tentu akan lebih lama selesainya. Tidak berfikir apa, kalau harus membayar
ulang?” kata ibuku suatu hari.
Biaya. Alasan ibuku seratus persen ada benarnya. Pindah sama saja dengan
membebani ibuku.
Yah, aku tak memungkirinya sama sekali. Entahlah, mengingat itu aku jadi
benci sendiri dengan sifatku yang tidak pernah berubah. Karena saat aku
berkeinginan pindah, aku tak pernah terfikirkan sama sekali tentang masalah
biaya yang tentunya menjadi persyaratan utamanya.
Aku baru memikirkannya diakhir. Akibatnya aku sering tersendat sendiri
karena kecerobohanku.
Dan karena kesadaran itulah, akhirnya kuurungkan niatku. Dan kuputuskan
untuk tetap melanjutkan kuliahku sampai selesai. Dan mulai saat itu dan
hari-hari selanjutnya, aku berusaha menikmati setiap aktifitasku dan apa yang
kupelajari dari agamaku. Baik dikampus maupun ditempat pengajianku. Dan di
rumah aku hanya belajar otodidak. Aku belajar bahasa Arab sendiri, menghafal
sendiri dan memahaminya sendiri. Dan dalam keadaan demikian, aku tetap
bersyukur karena aku diberi kemudahan dalam memahami setiap yang kupelajari.
Aku bisa menghafal beberapa mufradat, aku bisa memahami kaidah demi kaidah,
tanpa seorang guru disampingku. Walaupun tak kupungkiri bahwa keberadaan
seorang guru adalah sangat penting.
Karena banyak juga yang aku tak faham dan tentunya membutuhkan seorang
guru yang harus menjelaskannya padaku.
Dan tiga tahun kemudian bertepatan dengan tahun 2008, selesai sudah aku
menyelesaikan kuliahku pada jenjang D2. Dan karena sudah selesai, aku merasa
bahwa ini adalah kesempatanku untuk meraih impianku untuk belajar di ma’had.
Namun, qadarullah lagi-lagi usahaku nihil. Kesulitan rupanya masih bersahabat
denganku. Akhirnya, kuliah dima’had tidak, melanjutkan SI pun tidak. Karena
untuk menyambung SI sama saja dengan kuliah di ma’had.
Yakni menjadi mahasiswa baru. Karena harus membayar pendaftaran ulang dan
lain sebagainya. Akhirnya, mau tidak mau kuhabiskan waktuku dirumah dan diluar
rumah dengan aktifitas yang selayaknya.
Namun, selama tinggal dirumah tanpa kegiatan kampus jelas membuatku gerah
dan bosan. Aku sangat rindu ingin kembali belajar. Akhirnya, satu tahun
kemudian bertepatan dengan tahun 2009, dengan semangat menggebu-gebu, aku
kembali berikhtiar sebagaimana Humairah berikhtiar. Apalagi saat aku kembali
terusik saat memasuki liqo’ demi liqo’. Pengajian demi pengajian. Saat satu
persatu teman memperkenalkanku sebuah manhaj. Karena semua dengan manhaj yang
berbeda, jelas semua itu membuatku semakin bingung. Hingga akhirnya membuat
impianku kembali menari-nari diingatanku. Aku merasa butuh tempat untuk aku
bisa belajar.
Aku butuh tempat untuk aku bisa belajar dengan baik. Yang bisa
mengajariku sedikit demi sedikit namun pasti.
Akhirnya, aku kembali memutar otak. Berfikir bagaimana cara yang bisa
kutempuh agar aku bisa meloloskan impianku. Pertama, bagaimana cara untuk
membuat ibuku luluh dan dengan begitu ibuku bisa membantuku untuk mendapatkan
biaya. Namun, lama aku membujuk ternyata bukan dukungan yang kudapatkan malah
Ibuku habis-habisan menceramahiku.
“Kamu ini banyak tingkah. Yang perlu kamu fikirkan sekarang dimana kamu
bisa mengajar. Kamu tidak malu apa, apa kata keluarga dan tetangga kita? Kalau
tau-tau kamu hanya sibuk kuliah tanpa hasil”.
Kalau sudah berbicara demikian, aku tak bisa membantahnya. Karena kurasa
perkataan itu seratus persen benar. Bahkan tak kupungkiri, ada rasa malu yang
menusuk naluriku. Aku malu pada Ibu, sanak keluarga dan tetanggaku. Malu.
Karena aku telah kuliah namun tak juga jadi guru. Betapapun usaha telah
kukerahkan. Aku sudah mengajukan diri kemana-mana namun menjadi guru sukarela
saja, susahnya bukan main. Dua, tiga bahkan lebih sekolah yang kudatangi namun
aku tak diterima juga. Semua dengan alasan sudah padat atau harus SI. SI? Ah,
dalam hati aku tak percaya dengan alasan mereka.
Toh, banyak diantara mereka yang juga bukan SI namun diterima juga.
Namun, rela tidak rela aku hanya bisa pasrah. Dan pulang dengan membawa satu
alasan pada ibuku, harus SI. Karena hanya dengan alasan itulah ibuku bisa lega
dan tidak sedih melihat kegagalanku.
Tapi, sebenarnya perlakuan ibuku bukan untuk menekan diriku. Bukan hanya
semata-mata agar aku menjadi persis seperti inginnya. Hanya kusadar bahwa ibuku
ingin agar aku bisa menghargai pergorbanannya selama ini yang dengan susah
payah membiayai kuliahku. Lagi pula aku bukan anak kecil lagi, yang masih bisa
lepas dari tanggung jawab keluarga. Aku masih punya adik yang harus
kuperhatikan kehidupannya.
Karena cita-citaku tak diluluskan, rela tidak rela terpaksa aku mengalah.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena berjalan sendiri tanpa bantuan ibuku
disampingku jelas aku merasa tak sanggup. Dan setelah berfikir, daripada tak
belajar sama sekali dengan senang hati kuutarakan maksudku untuk melanjutkan
SI. Kufikir ibuku tak akan keberatan dalam hal ini.
Dan ternyata memang benar. Dengan senang hati ibuku mendukungku. Dan
walau dalam keadaan susah sekalipun ibuku selalu saja mengusahakan. Akhirnya
aku kembali melanjutkan kuliah. Sementara itu Humairah patut berbangga dengan
keberhasilannya. Saat aku gagal ternyata ia sukses. Puas tak puas itulah yang
diberikan padaku.
Dua tahun kemudian....
<bersambung>
Posting Komentar
Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran
youtube downloader