Dua tahun kemudian....
Cahaya itu kurasa mulai menampakkan wujudnya. Saat itu, adik laki-lakiku
yang bungsu baru saja menyelesaikan sekolahnya di SMA. Dan aku berniat untuk
memasukkannya ke ma’had.
Kemahirannya dalam berbahasa Arab yang mendorongku untuk kembali
mendekatkannya dengan lingkungan pesantren. Kufikir, jika aku tak bisa masuk,
setidaknya adikku bisa menggantikanku. Dan saat kuutarakan hal tersebut ia pun
mengiyakan dengan senang hati.
Asalkan gratis, begitu katanya. Mendengar syaratnya, entah kenapa aku
langsung mengiyakan. Asalkan Ia mau itu
sudah sangat baik. Biaya urusan belakang. Pasti ada jalan.
Agak lama aku berfikir, tiba-tiba aku teringat Humairah. Fikirku,
Humairah juga gratis. Tak ada salahnya meminta bantuannya. Dan dengan penuh
keyakinan, aku lalu menghubungi Humairah.
Dan alhamdulillah, kemudahan itu kudapatkan. Seorang donatur yang
menanggung Humairah, juga siap menanggung adikku. Yah, aku senang bukan main.
Namun, beberapa pekan kemudian tanpa kuduga adikku berubah fikiran. Ia
mengurungkan niatnya dengan alasan, Ia punya cita-cita lain. Aku kecewa padanya
tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Dari situlah aku kefikiran satu hal.
Kenapa bukan aku saja? Bukankah aku bisa menggantikannya? Tapi, bagaimana
dengan kuliahku saat ini? Jika kuliah di dua kampus sekaligus, jelas akan
membuat repot. Sebaiknya kutunda sampai tahun depan, fikirku kemudian. Tapi,
apakah tahun depan kesempatan itu masih bisa kudapatkan? Karena bingung,
kuutarakan niatku pada Humairah namun jawabannya sama seperti jawabanku. Ia
tidak bisa menjamin untuk membantuku jika tahun depan. Saat mendengar
jawabannya, aku merasa tak punya jalan lain. Bagiku ini adalah kesempatan yang
tidak boleh kusia-siakan. Bukankah yang menjadi kendala terbesarku selama ini
adalah biaya? Dan jika biaya sudah ada, apalagi?
Setelah sekian bulan kupertimbangkan dengan seksama, kufikir tak masalah,
kuliah di dua kampus sembari mengajar pula. Aku tinggal mengatur waktu dengan
sedetail mungkin. Pagi mengajar, sore kuliah dima’had. Atau sebaliknya. Kuliah
pagi di ma’had dan mengajar sore disekolah. Selainnya itu hari Sabtu dan Ahad
bisa kugunakan di kampus A. Atau kapan saja. Dikampus A, aku bisa masuk diwaktu
mana saja. Pagi, sore atau malam sekalipun. Apalagi hanya tersisa dua mata
kuliah yang harus kuselesaikan. Tapi, semudah itukah? Bagaimana kalau
bersamaan? Ah, itu urusan belakang.
Akhirnya, setelah merasa yakin, kuutarakan maksudku kepada beliau -yang
dimaksud Humairah- melalui pesan sms. Dan alhamdulillah beliau tak keberatan
bahkan dengan senang hati membantuku. Mendengarnya aku senang bukan main.
Berarti, aku telah berhasil satu langkah.
Hingga tiba bulan Juni 2011, pengumuman yang kutunggu-tunggu akhirnya
keluar juga. Dan ternyata sekolah benar dibuka pagi dan sore. Dan oleh bagian
kurikulum, aku ditempatkan di waktu pagi. Di hari Selasa dan sabtu. Dengan jatah mengajar 10 jam. Dua kelas dihari
selasa dan tiga kelas dihari sabtu. Lumayan untuk pemula seperti diriku. Dalam
hati aku merasa bersyukur karena aku ditempatkan diwaktu pagi. Karena dengan
begitu, aku bisa menjalankan amanahku terlebih dahulu disekolah dengan tenang,
sebelum aku berangkat kuliah. Dan waktu kurasa cukup. Di ma’had masuk jam dua.
Di sekolah pulang jam 12.00. Berarti aku
bisa shalat beberapa menit sebelum berangkat kuliah. Dan satu jam aku sudah
bisa sampai ma’had, jika mengendarai sepeda motor. Capek memang. Tapi tak
masalah. Hanya di hari Selasa. Sabtu di ma’had libur.
Namun, suatu hari kelegaaanku berubah. Saat aku mendapat kabar dari Humairah
bahwa perkuliahan hanya akan dibuka pagi. Sore tak ada, apalagi sabtu dan Ahad.
Kecuali jika jumlah pendaftar mencukupi. Namun, jika tidak mencukupi maka jelas
tak akan di buka. Aku kaget bukan main. Aku merasa perencanaan yang telah
kususun dengan sangat rapinya, telah berantakan dengan adanya berita tersebut.
Aku pun kembali bingung. Terpaksa kuutarakan masalahku pada Humairah dan
kuminta sarannya. Namun, sarannya hanya membuatku ciut. Ia bukannya
mencarikanku jalan keluar malah memintaku untuk memilih salah satu. Memilih
salah satu? Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit bagiku. Karena
melepaskan pekerjaanku sama saja dengan menyakiti Ibuku. Mundur kuliah? Itu pun
tak mungkin kulakukan. Aku ingin belajar.
Olehnya itu, aku ingin keduanya. Aku ingin mengajar sambil kuliah. Karena
dari hasil mengajar itulah setidaknya aku dapat bertahan hidup nantinya.
Beberapa bulan kemudian...
Aku dihinggapi rasa bimbang. Dalam hati aku berfikir untuk mundur saja.
Namun, niatku tak ditanggapi baik oleh Laila saat suatu hari aku bertemu
dengannya di kampus. Saat itu, kuutarakan semua kendalaku. Tapi, semua alasanku
tak masuk akal baginya. Ia lalu berusaha meyakinkanku. Selain itu, Ia lalu
memperlihatkan padaku apa yang tertera di formulir. Dan ternyata perkuliahan
sore dibuka untuk tahun itu. Melihatnya, aku senang bukan main. Tapi, aku belum
yakin sepenuhnya. Olehnya itu, kulayangkan sms kepada pihak ma’had. Dan
alhamdulillah, aku baru bisa bernafas lega dan yakin. Ternyata kelas sore
betul-betul akan dibuka.
Saat itu, kuutarakan pula tentang Ibuku. Dan lagi-lagi aku patut
bersyukur karena ternyata Ia bernasib sama denganku. Ia pun tanpa sepengetahuan
Ibu dan keluarganya. Namun, ia tak pernah ragu dengan keputusan yang
diambilnya. Menurutnya, Allah pasti tak akan pernah menyia-nyiakan usahanya.
Karena Ia mempunyai niat baik. Ia ingin belajar. Ia ingin menambah ilmunya. Ia
tidak ingin siswa-siswanya, yang berada dibawah tanggung jawabnya, menjadi
bodoh hanya lantaran diajar oleh guru seperti dirinya. Mengajar bahasa Arab
namun Ia sendiri tak mengerti bahasa Arab. Makanya, ia ingin menambah
pengetahuannya dengan belajar di ma’had. Melihat keyakinannya, aku jadi malu
pada diriku. Karena ternyata ia mempunyai semangat yang luar biasa. Bahkan
lebih dari itu. Pasalnya, baru saja tiga hari setelah Ia menyandang gelar
S.Pd.I, formulir sudah dikantonginya. Ia telah mendaftarkan dirinya untuk
belajar di ma’had. Luar biasa.
Saat kutanya kesiapannya, ia hanya menjawabku dengan senyuman.
“Uang kuliah urusan belakang Ukh. Masih ada kesempatan untuk ngumpulin
kan?” katanya sambil tertawa padaku. Aku
betul-betul salut padanya.
Dan saat dirumah, hal yang sama diutarakan pula oleh adikku Himma.
“Masa’ hanya sehari saja nggak bisa disiasati” ucapnya.
“Tapi kelihatannya sulit”
“Jalani aja dulu. Pasti ada jalan Kak”
Hingga tak terasa hanya sisa tiga hari waktu pengambilan formulir
sekaligus pengembaliannya. Waktu kurasa sangat sempit, sementara itu uang belum
kukantongi dan restu dari Ibuku juga belum kudapatkan. Aku bingung bukan main.
Kutanya Himma, apa yang sebaiknya kulakukan? Apakah aku harus meminta izin Ibu
atau tidak? Tapi, adikku menyarankan untuk tidak mengatakannya, setidaknya
untuk sementara waktu.
<bersambung>
Posting Komentar
Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran
youtube downloader