Hadiah Dari Allah Untukku (2)

0 komentar
Dua tahun kemudian....
Cahaya itu kurasa mulai menampakkan wujudnya. Saat itu, adik laki-lakiku yang bungsu baru saja menyelesaikan sekolahnya di SMA. Dan aku berniat untuk memasukkannya ke ma’had.


Kemahirannya dalam berbahasa Arab yang mendorongku untuk kembali mendekatkannya dengan lingkungan pesantren. Kufikir, jika aku tak bisa masuk, setidaknya adikku bisa menggantikanku. Dan saat kuutarakan hal tersebut ia pun mengiyakan dengan senang hati.

Asalkan gratis, begitu katanya. Mendengar syaratnya, entah kenapa aku langsung mengiyakan. Asalkan Ia mau  itu sudah sangat baik. Biaya urusan belakang. Pasti ada jalan.

Agak lama aku berfikir, tiba-tiba aku teringat Humairah. Fikirku, Humairah juga gratis. Tak ada salahnya meminta bantuannya. Dan dengan penuh keyakinan, aku lalu menghubungi Humairah.

Dan alhamdulillah, kemudahan itu kudapatkan. Seorang donatur yang menanggung Humairah, juga siap menanggung adikku. Yah, aku senang bukan main. Namun, beberapa pekan kemudian tanpa kuduga adikku berubah fikiran. Ia mengurungkan niatnya dengan alasan, Ia punya cita-cita lain. Aku kecewa padanya tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Dari situlah aku kefikiran satu hal.

Kenapa bukan aku saja? Bukankah aku bisa menggantikannya? Tapi, bagaimana dengan kuliahku saat ini? Jika kuliah di dua kampus sekaligus, jelas akan membuat repot. Sebaiknya kutunda sampai tahun depan, fikirku kemudian. Tapi, apakah tahun depan kesempatan itu masih bisa kudapatkan? Karena bingung, kuutarakan niatku pada Humairah namun jawabannya sama seperti jawabanku. Ia tidak bisa menjamin untuk membantuku jika tahun depan. Saat mendengar jawabannya, aku merasa tak punya jalan lain. Bagiku ini adalah kesempatan yang tidak boleh kusia-siakan. Bukankah yang menjadi kendala terbesarku selama ini adalah biaya? Dan jika biaya sudah ada, apalagi?

Setelah sekian bulan kupertimbangkan dengan seksama, kufikir tak masalah, kuliah di dua kampus sembari mengajar pula. Aku tinggal mengatur waktu dengan sedetail mungkin. Pagi mengajar, sore kuliah dima’had. Atau sebaliknya. Kuliah pagi di ma’had dan mengajar sore disekolah. Selainnya itu hari Sabtu dan Ahad bisa kugunakan di kampus A. Atau kapan saja. Dikampus A, aku bisa masuk diwaktu mana saja. Pagi, sore atau malam sekalipun. Apalagi hanya tersisa dua mata kuliah yang harus kuselesaikan. Tapi, semudah itukah? Bagaimana kalau bersamaan? Ah, itu urusan belakang. 

Akhirnya, setelah merasa yakin, kuutarakan maksudku kepada beliau -yang dimaksud Humairah- melalui pesan sms. Dan alhamdulillah beliau tak keberatan bahkan dengan senang hati membantuku. Mendengarnya aku senang bukan main. Berarti, aku telah berhasil satu langkah.

Hingga tiba bulan Juni 2011, pengumuman yang kutunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Dan ternyata sekolah benar dibuka pagi dan sore. Dan oleh bagian kurikulum, aku ditempatkan di waktu pagi. Di hari Selasa dan sabtu. Dengan  jatah mengajar 10 jam. Dua kelas dihari selasa dan tiga kelas dihari sabtu. Lumayan untuk pemula seperti diriku. Dalam hati aku merasa bersyukur karena aku ditempatkan diwaktu pagi. Karena dengan begitu, aku bisa menjalankan amanahku terlebih dahulu disekolah dengan tenang, sebelum aku berangkat kuliah. Dan waktu kurasa cukup. Di ma’had masuk jam dua. Di sekolah pulang  jam 12.00. Berarti aku bisa shalat beberapa menit sebelum berangkat kuliah. Dan satu jam aku sudah bisa sampai ma’had, jika mengendarai sepeda motor. Capek memang. Tapi tak masalah. Hanya di hari Selasa. Sabtu di ma’had libur.

Namun, suatu hari kelegaaanku berubah. Saat aku mendapat kabar dari Humairah bahwa perkuliahan hanya akan dibuka pagi. Sore tak ada, apalagi sabtu dan Ahad. Kecuali jika jumlah pendaftar mencukupi. Namun, jika tidak mencukupi maka jelas tak akan di buka. Aku kaget bukan main. Aku merasa perencanaan yang telah kususun dengan sangat rapinya, telah berantakan dengan adanya berita tersebut. Aku pun kembali bingung. Terpaksa kuutarakan masalahku pada Humairah dan kuminta sarannya. Namun, sarannya hanya membuatku ciut. Ia bukannya mencarikanku jalan keluar malah memintaku untuk memilih salah satu. Memilih salah satu? Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit bagiku. Karena melepaskan pekerjaanku sama saja dengan menyakiti Ibuku. Mundur kuliah? Itu pun tak mungkin kulakukan. Aku ingin belajar.
Olehnya itu, aku ingin keduanya. Aku ingin mengajar sambil kuliah. Karena dari hasil mengajar itulah setidaknya aku dapat bertahan hidup nantinya.

Beberapa bulan kemudian...
Aku dihinggapi rasa bimbang. Dalam hati aku berfikir untuk mundur saja. Namun, niatku tak ditanggapi baik oleh Laila saat suatu hari aku bertemu dengannya di kampus. Saat itu, kuutarakan semua kendalaku. Tapi, semua alasanku tak masuk akal baginya. Ia lalu berusaha meyakinkanku. Selain itu, Ia lalu memperlihatkan padaku apa yang tertera di formulir. Dan ternyata perkuliahan sore dibuka untuk tahun itu. Melihatnya, aku senang bukan main. Tapi, aku belum yakin sepenuhnya. Olehnya itu, kulayangkan sms kepada pihak ma’had. Dan alhamdulillah, aku baru bisa bernafas lega dan yakin. Ternyata kelas sore betul-betul akan dibuka.

Saat itu, kuutarakan pula tentang Ibuku. Dan lagi-lagi aku patut bersyukur karena ternyata Ia bernasib sama denganku. Ia pun tanpa sepengetahuan Ibu dan keluarganya. Namun, ia tak pernah ragu dengan keputusan yang diambilnya. Menurutnya, Allah pasti tak akan pernah menyia-nyiakan usahanya. Karena Ia mempunyai niat baik. Ia ingin belajar. Ia ingin menambah ilmunya. Ia tidak ingin siswa-siswanya, yang berada dibawah tanggung jawabnya, menjadi bodoh hanya lantaran diajar oleh guru seperti dirinya. Mengajar bahasa Arab namun Ia sendiri tak mengerti bahasa Arab. Makanya, ia ingin menambah pengetahuannya dengan belajar di ma’had. Melihat keyakinannya, aku jadi malu pada diriku. Karena ternyata ia mempunyai semangat yang luar biasa. Bahkan lebih dari itu. Pasalnya, baru saja tiga hari setelah Ia menyandang gelar S.Pd.I, formulir sudah dikantonginya. Ia telah mendaftarkan dirinya untuk belajar di ma’had. Luar biasa.

Saat kutanya kesiapannya, ia hanya menjawabku dengan senyuman. 

“Uang kuliah urusan belakang Ukh. Masih ada kesempatan untuk ngumpulin kan?” katanya sambil tertawa padaku.  Aku betul-betul salut padanya.

Dan saat dirumah, hal yang sama diutarakan pula oleh adikku Himma.

“Masa’ hanya sehari saja nggak bisa disiasati” ucapnya.

“Tapi kelihatannya sulit”

“Jalani aja dulu. Pasti ada jalan Kak”

Hingga tak terasa hanya sisa tiga hari waktu pengambilan formulir sekaligus pengembaliannya. Waktu kurasa sangat sempit, sementara itu uang belum kukantongi dan restu dari Ibuku juga belum kudapatkan. Aku bingung bukan main. Kutanya Himma, apa yang sebaiknya kulakukan? Apakah aku harus meminta izin Ibu atau tidak? Tapi, adikku menyarankan untuk tidak mengatakannya, setidaknya untuk sementara waktu. 
<bersambung> 


Posting Komentar

Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran























youtube downloader