Hadiah Dari Allah Untukku (3)

0 komentar
Setelah mempertimbangkan nasehatnya, kufikir itulah jalan yang terbaik. Aku harus bertindak tanpa sepengetahuan ibuku. kufikir, tidak semua keinginan ibuku harus kuikuti. Dalam hal ini Ibuku tak selayaknya kujadikan Imamku. Yang harus kuikuti kemauannya. Apalagi, Ibuku tak pernah sekalipun terekam dalam ingatanku bahwa ibuku pernah memerintahkanku untuk shalat. Saat tiba waktu shubuh, saat aku masih terbaring tidur, ibuku tak pernah sekalipun membangunkanku. Yah, Ibuku tak pernah peduli apakah aku sudah shalat atau tidak. Ibuku takut aku bercadar. Ah, bercadar? Seharusnya ibuku tak berfikir demikian. Manalah mungkin aku akan melakukannya tanpa pengetahuan.


Yah, begitulah Ibuku. Walaupun kurasa Ia adalah wanita yang terbaik dalam hidupku, wanita yang tangguh yang bisa berdiri sendiri tanpa ayahku disampingnya. Namun, Ia toh juga manusia biasa. Yang juga mempunyai kekurangan.

Dan dengan mengucap bismillah aku membulatkan tekad untuk maju. Aku siap dengan segala resiko. Toh, segala urusan sesulit apapun pasti tak akan kekal. Semua kesulitan akan berakhir seiring dengan berjalannya waktu. Dan pagi itu aku pun berangkat bersama Humairah dan kebetulan bertepatan dengan tabligh akbar yang diadakan di ma’had tersebut. Dan dengan meminjam uang salah seorang temanku, akhirnya formulir pun benar-benar berada ditanganku. Dan saat itu resmilah aku mendaftar tanpa sepengetahun Ibuku. 

Karena formulir sudah ditangan. Maka selanjutnya aku tinggal menunggu waktu tes. Namun, sehari sebelum tes akan dilangsungkan, hatiku kembali menciut. Kabar mengejutkan itu datang padaku dari Laila sendiri, bahwa perkuliahan hanya berlangsung di pagi hari. Sore tak ada apalagi Sabtu dan ahad. Karena sudah menjadi tekadku, kurasa apapun masalahnya, bagiku sudah tak jadi masalah. Tapi, bagaimana dengan Laila? Tentu akan masalah baginya. Ia hanya bisa Sabtu ahad, atau sore.

“Tes aja dulu. Kalau memang benar-benar nggak ada apa boleh buat” saranku padanya ketika itu.

“Iya juga sih. Sapa tau nanti tiba-tiba ada yah!” katanya masih tetap optimis.

Esoknya, kami sepakat berangkat bersama dengan menaiki angkutan pete-pete. Dan dua jam kemudian, tibalah kami dipangkalan ojek. Kami pun turun dari angkut dan sepakat melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Ditengah perjalanan, jajanan donat ternyata menyita perhatian. Dengan tersenyum Laila meminta untuk berhenti sejenak, sekedar mengisi perut yang memang sudah kerompongan. Aku balik tersenyum dan mengiyakannya dengan senang hati. Akhirnya, kami pun berhenti sejenak dan menyantap beberapa kue. Dan setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan.

“Jauh sekali Ukh” kata Laila sembari menarik tanganku ketepi jalan untuk berhenti sejenak. 
“Nggak kok. Ukhti kan baru pertama kali kesini makanya ngerasanya jauh” kataku dengan tersenyum kecil padanya.

“Iya sih” jawabnya dengan tersenyum balik sembari menghapus keringat yang membasahi wajahnya.

Setelah melepas lelah sejenak, beberapa menit kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan dengan sedikit mempercepat jalan dari sebelumnya. Pasalnya, tes beberapa menit lagi akan dimulai. Demikian pesan yang kuterima dari Humairah. Hingga akhirnya kami pun tiba. Walaupun telat tapi alhamdulillah kami diizinkan masuk.

Satu persatu Tes kuikuti hari itu begitu pun dengan Laila. Mulai dari Tes tulisan, Tes kesehatan dan terakhir Tes lisan. Semua Tes kami rampungkan hari itu hingga selesai. Alhamdulillah, kami sangat lega. Karena semuanya berjalan dengan lancar. Dan setelah itu, kami pun pulang dan untuk selanjutnya tinggal menunggu pengumuman kepastian.

Satu pekan kemudian....
Tibalah pengumuman itu. Dan alhamdulillah, aku dan Laila diterima.  Namun, sayang kebahagiaan itu tak bisa berlangsung lama. Laila harus mengundurkan diri. Sedih? Jelas aku sedih tanpanya. Tanpanya disampingku yang bisa menyemangatiku ketika aku putus asa. Tapi, apa boleh buat. Jalannya harus seperti itu. Aku masih teringat akan perkataannya dahulu yang membuatku tersenyum perih. Saat kami usai mengikuti tes.

“Ketahuilah Ukh, bahwa setiap dari kita yang diterima di tempat ini, adalah orang-orang pilihan Allah”

“Berarti kalau Ukhti nggak diterima, berarti Ukhti bukan pilihan Allah dong!” tanggapku dengan bercanda.

“Bukan juga. Tapi, tempatku bukan di sini. Tapi, aku diamanahkan oleh Allah ditempat lain” jawabnya dengan yakin.

Mengingat itu, aku jadi sedih. Namun, juga membuatku semakin kuat dan optimis. Fikirku, mungkin ini yang terbaik untukku dan itu juga yang terbaik untuknya. Bagaimanapun, perjuangan harus tetap kulanjutkan.

Dan usai pengumuman kelulusan, selanjutnya adalah mengikuti daurah. Daurah dilaksanakan selama tiga hari sebelum kuliah perdana dimulai. Dan selama daurah peserta wajib datang tepat waktu. Jam 7 tepat. Karena hal tersebut, aku kembali memutar otak karena semuanya harus diperhitungkan dengan cermat. Kalau salah-salah, bisa-bisa aku telat. Jika star dari jam 05.30, 15 menit mungkin cukup untuk perjalanan satu kilo, dari rumah ke jalan raya. Kemudian naik angkut sampai ke kota kira-kira satu jam. Di Kota lalu ke pangkalan ojek juga satu jam. Sesudah itu jalan masuk ke ma’had kira-kira setengah jam. Setelah kuperhitungkan ternyata memakan waktu dua jam lebih. Dan masih telat. Tapi, hanya beberapa menit paling banyak setengah jam. Tak ada jalan lain. Akhirnya, kuputuskan untuk berangkat jam sekian. Lalu, bagaimana dengan Ibuku?

“Apa sebaiknya aku beritahu Ibu saja yah?” tanyaku pada Himma untuk meyakinkan diriku.

“Jangan kak. Kalau diberitahu dari awal, nggak bakalan dikasi izin. Izinnya nanti saja. Kan kalau sudah terlanjur, mau tidak mau Ibu pasti nerima”

 “Lalu, entar izin shubuhnya gimana nih?” tanyaku dengan becanda

“Nggak punya otak apa. Cari alasan apa kek?” jawabnya becanda pula. Kami pun saling tertawa.
Kami lalu bertukar fikiran. Berbohong. Terpaksa jadi jalan satu-satunya. Paling tidak untuk sementara waktu. Dan ternyata alasanku diterima. Akhirnya, aku bisa berangkat pagi-pagi sekali dengan tenang. Usai shalat shubuh aku mandi dan langsung berangkat. Dan dihari pertama mengikuti daurah, saat menyusuri jalan, sosok Laila membangunkan fikiranku. Sayang, sudah tak ada Laila bersamaku. Hari ini, aku harus berjalan sendiri tanpanya. Hari ini, tak ada lagi teman untuk tertawa dikala harus menahan lapar. Tak ada teman untuk berteduh, dikala harus melepas lelah sejenak. Tapi, apa boleh buat.

Dan hari pertama mengikuti daurah, alhamdulillah berjalan dengan sukses begitupun selanjutnya di hari ke dua. Namun, ketika memasuki hari ke tiga hatiku ciut. Aku kehabisan ongkos untuk esoknya. Sementara itu, aku harus membayar hutang pada Humairah. Apa yang harus kulakukan? Mau pulang berusaha, nggak bakalan. Apalagi hari sudah sore. Aku sampai dirumah sesudah Isya. Minta sama Ibu tidak mungkin. Apalagi dapur kutinggalkan dalam keadaan tak berasap beberapa hari ini. Aku merasa tak punya jalan sama sekali. Namun, aku tetap berusaha menenangkan diri. Rezki Allah mana ada yang tahu? 

Hingga setibanya aku dirumah, aku seolah mendapatkan angin segar. Akan ada rezki esok hari, kata Himma padaku setelah kuutarakan keluhanku padanya. Sebenarnya aku ragu, namun Himma tetap meyakinkanku. Dan pagi kemudian, aku benar-benar melihat bukti kemahakuasaanNya. Walau tak banyak tapi setidaknya cukup untuk ongkos pulang pergi untuk hari itu dan aku juga bisa membayar hutang. Dan lagi-lagi bantuan itu kuterima tanpa sepengetahuan ibuku. Dalam hati aku sangat berterima kasih atas kebaikan adikku Himma. Aku bersyukur mempunyai saudari sepertinya.

Dan di hari itu pula, di hari ketiga daurah tersebut, aku merasa mendapatkan rezki yang berlipat ganda. Yah, aku merasa sedang mendapatkan hadiah. Hadiah yang begitu berharga yang diberikan Allah untukku. Hadiah itu di bungkus dalam sebuah untaian kata-kata nan indah.

“Ketahuilah akhawati fillah, bahwa kalian yang berada diruangan ini adalah orang-orang yang telah dicatat namanya oleh Allah di Lauhil mahfudz, 50 ribu tahun lamanya, jauh sebelum dunia tercipta”

Subuhanallah. Namaku telah tercatat bersama dengan para thalabul ‘ilmi, jauh sebelum dunia tercipta. Hatiku bergetar hebat. Kalimat itu sungguh indah dan membuat damai hatiku. Lelah tentu tak lagi. Karena kurasa itu adalah harga yang harus kubayar mahal dari hadiah yang telah kuterima dari Allah.

Terima kasih Allah.....!!!
<TAMAT>
 Sumber : MADAH


Posting Komentar

Silahkan beri komentar...atau langsung di Buku Tamu...Tentu kami mengharap komentar yang Anda kirim adalah komentar yang menggunakan kata-kata yang baik dan sopan, jangan lupa cantumkan identitas Anda dan tidak menggunakan Anonim. syukran























youtube downloader